Kamis, 15 Agustus 2013

Cerpen "Hidayah Buah Apel"

Aku menutup pintu kamarku dengan keras. Tak kuperhatikan tas dan sepatu yang masih melekat di anggota tubuhku, langsung saja ku menjatuhkan diri di atas kasur sambil memeluk sebuah guling. Gejolak yang kini kurasa sangat menghantam hati dan pikiranku. Ingin aku menjerit sekeras-kerasnya sampai aku merasa tenang. Tak bisa kuhentikan air mata yang sudah terlanjur membasahi pipiku. Semakin lama aku seperti berada dalam sebuah tempat yang sangat gelap dan disana hanya ada aku dan seorang monster menyeramkan yang siap mencengkramku kapan saja. Aku takut tapi tak bisa berbuat apa-apa. Hanya diam, terus diam dalam ketakutan yang entah sampai kapan akan berakhir.
*
“Mari silahkan masuk,” sapa seorang wanita berjubah biru tua dengan ramahnya mempersilahkan aku masuk ke dalam sebuah ruang yang memang tidak terlalu besar tetapi tertata rapi dan terlihat sangat nyaman.
“Iya, terimakasih,” jawabku.
Aku duduk di kursi nomor dua dari belakang. Lima menit berlalu hampir seluruh ruangan ini telah dipenuhi oleh para peserta dan pematerinyapun telah menempati kursi yang telah disediakan. Melihat sekeililingku saat ini, aku merasa seperti orang yang sangat asing. Di samping kananku terlihat seorang wanita berjubah merah dan jilbab putih panjang hampir mencapai lututnya. Sedangkan di samping kiriku wanita bercadar yang memakai busana serba hitam. Seluruh isi ruangan ini mengenakan busana yang hampir sama dengan wanita di samping kanan dan kiriku. Hanya satu wanita yang berbeda, hanya mengenakan kaos hijau panjang dan celana jins serta jilbab yang hanya menutupi rambut dan leher. Jelas wanita itu adalah aku.
Satu jam berlalu terus ku pusatkan perhatianku terhadap apa yang disampaikan pemateri dalam kajian muslimah ini. Kalimat yang membuatku terdiam dan terus ku renungi adalah ketika beliau mengatakan “Jika kita ingin mendapat hidayah dari ALLAH, harus ada usaha untuk mencapainya. Ibarat jika kita ingin sebuah apel yang ada di pohonnya, tidak bisa hanya menunggu sampai apel itu jatuh dengan sendirinya, namun harus ada usaha entah menggunakan kayu atau tangga agar kita mendapat apel itu”.
Terbersit dalam pikiranku untuk berubah lebih baik, aku ingin mendekatkan diri pada Sang Pencipta. Hidayah itu ingin kudapat minimal dari busana yang kukenakan dulu. Tapi apakah aku bisa di tengah terik matahari yang panas mengenakan busana yang semakin menggerahkanku. Belum lagi pastinya teman-temanku di kampus akan menertawaiku. Aku juga belum siap harus belajar agama dari nol dan mengerjakan ibadah sesuai yang diperintahkan. Aku ingin mendapat hidayah, namun aku seperti gadis kecil yang mengharap jatuhnya apel dari pohon dengan sendirinya, hanya menengadahkan tangan di bawah pohon itu tanpa melakukan satu usahapun agar apel itu bisa segera ku dapat.
*
            Berita tentang kasus kedua orangtuaku sedang diperbincangkan oleh masyarakat luas. Aku sangat terpukul mendengar berita tersebut. Aku tak pernah menyangka keduaorangtuaku selama ini tega memperdagangan anak. Kini mereka menjadi buronan kepolisian. Aku bingung dengan musibah yang menimpaku saat ini, keduaorangtuaku bahkan tidak memberi kabar apapun untuk mengonfirmasi bahwa kabar tersebut tidak benar.
Hari itu aku berusaha tenang dan menganggap tidak pernah terjadi apa-apa. Aku tetap berangkat ke kampus dan berusaha tersenyum di balik kepedihan yang terus menyelimutiku. Benar saja di kampus para mahasiswa dan dosen juga sedang membicarakan tentang kasus orangtuaku. Aku tetap berusaha diam dan menahan untuk tidak berperilaku aneh. Akupun mengikuti kuliah seperti biasanya meskipun tidak dengan pikiran jernih yang biasanya ku tonjolkan. Memang tak ada satu temanku yang tahu kalau aku adalah anak buronan yang beritanya sedang diperbincangkan oleh orang banyak. Selama satu tahun di Bandung, orangtuaku yang berada di Surabaya tidak pernah mengunjungi ke kontrakanku. Nama orang tuaku apalagi, tidak ada yang sampai memperhatikan siapa nama orangtua masing-masing temannya.
Hingga saat pergantian mata kuliah, aku dipanggil ketua jurusan ke ruangannya.
“Benar kamu anak Beny Santoso Aditya?” tanya kajurku dengan nada tegas dan tidak ada keramahan sedikitpun.
Aku tak berani menatap kajurku. Aku hanya diam.
“Benar kamu anak Beny Santoso Aditya?” beliau mengulang pertanyaannya dengan nada keras.
Akupun tetap diam. Kemudian dengan suara yang lebih keras sambil memukul meja yang ada di depannya ia mengulang pertanyaannya.
“Jangan diam.... benar kamu anak Beny Santoso Aditya???”
Para dosen dan sebagian mahasiswa turut berbondong-bondong menuju ruang kajur. Mereka turut menguping lewat jendela dan berusaha melihat yang terjadi dalam ruangan ini. Siang ini merupakan awal seluruh kampus, para dosen dan mahasiswa tahu  bahwa aku adalah anak buronan kasus perdagangan anak yang sangat dibenci oleh banyak orang.
“Dasar anak buronan!!!”
“Tak tahu malu, kenapa masih ke kampus!??”
“Dia pasti tak beda jauh dengan orangtuanya!!!”
“Keluarga yang tak punya hati nurani!!!”
Aku tak kuat dengan celotehan-celotehan temanku itu. Setiap kata yang kudengar sungguh membuat hatiku semakin pilu. Malu, marah, kesal, kecewa, sedih semua tercampur menjadi satu. Aku berlari sambil terus meneteskan air mata kepedihan.
Pintu keluar kampus telah aku lewati. Jalan demi jalan terus aku lalui. Hingga sampai pada jalan yang sepi, aku berjalan gontai. Tiba-tiba dihadapanku berdiri seorang ibu yang kelihatannya memendam kebencian yang begitu mendalam. Ketakutanku makin memuncak ketika melihat ibu itu membawa pisau yang siap dilayangkan ke tubuhku.
            “Kamu harus mati!!! Gara-gara orangtuamu, anakku yang kelahirannya telah ku nanti selama 20 tahun harus hidup menderita dan kini dia telah meninggalkanku untuk selamanya”.
            Akupun berlari sekuat yang ku bisa. Ibu itu terus mengejarku. Hampir selama tiga menit aku terus berlari. Ku hentikan langkahku ketika aku mendengar suara benturan yang sangat keras. Ibu yang mengejarku tadi jatuh terbentur batu besar. Aku bingung akan berbalik arah atau tidak. Hingga ada mobil melewatinya dan penumpang yang ada dalam mobil itupun menolongnya.
            Perasaanku sedikit lega, tapi ketika aku ingat ibu tadi hanya satu dari ribuan orang yang membenci dan mengharap kematianku, hatiku  mulai gelisah. Orangtuaku telah memisahkan banyak orangtua dengan anak kandungnya. Mungkin riwayatku akan berakhir di tangan salah satu orang tua yang anaknya dijual oleh orangtuaku.
*
Aku membuka jendela kontrakanku. Saat itu kedua jarum jam berwarna hitam yang menempel di jam dinding mengarah ke angka 12. Terik matahari sedang menyambar kota ini. Terlihat seorang pedagang yang dalam keadaan tua tetap gigih memikul barang dagangannya di pundak kanan dan kirinya sambil menawarkan dagangannya.
“Buah-buah............ Apel, jeruk, pisang, anggur............. buah-buah.......”
Kemudian, dia duduk di bawah pohon tepat di depan kontrakanku. Dari caranya duduk, ia kelihatan sangat letih. Sambil mengipaskan sebuah buku ke bagian wajahnya, ia memandang ke buah-buah yang digagangkan. Wajahnya tampak kurang gembira, mungkin karena barang dagangannya masih banyak. Aku bergegas keluar untuk melihat barang dagangannya. Ternyata dugaanku benar. Buahnya masih banyak namun kelihatan masih sangat segar.
Melihatku berada dekat dengannya pedagang itu tersenyum dan langsung berdiri dengan semangatnya.
“Buahnya mbak, segar-segar lho! Ada apel, jeruk, pisang, anggur.....”
“Ya, apelnya satu kilo saja.”
Dengan cekatan pedagang itu memasukkan apel ke dalam plastik berwarna hitam. Wajahnya tampak sumringah.
”Mbak warga asli sini?” sapa pedagang itu masih sambil memasukkan apel yang ku pesan.
“Bukan pak. Saya mahasiswa yang kuliah di sini. Itu rumah kontrakan saya.”
“Sudah semester berapa mbak?”
“Semester tiga. Oh ya bapak kelihatan sangat letih, kalau bapak mau bapak bisa istirahat di teras kontrakan saya.”
“Wah, mbak baik sekali.”
“Mari pak, silahkan masuk tidak usah sungkan-sungkan.”
Setelah memberikan bungkusan apel pedagang itu memikul barang dagangannya kemudian duduk santai di depan teras rumahku. Aku memberikannya minum segelas air. Setelah beberapa menit istirahat, pedagang itu pamit pulang.
“Terimakasih banyak ya mbak, semoga ALLAH selalu melindungi mbak dan keluarga mbak.”
*
Aku membuka bungkusan apel yang tadi aku beli. Saat ku mengupas buah tersebut, aku ingat satu bulan lalu. Ketika aku ikut kajian muslimah di gedung kampus Islam. Kalimat pemateri tentang hidayah yang diibaratkan buah apel terngiang dalam pikiranku. “Jika menginginkan buah apel jangan menunggu sampai apel itu jatuh dengan sendirinya. Namun harus ada usaha untuk mendapat apel tersebut.”
Hidayah. Ya hidayah itu kini harus ku dapat. Aku baru menyesali kalau selama ini aku sangat jauh dengan Sang Illahi. Sholat sangat jarang ku lakukan. Apalagi mengaji, bahkan aku tak punya Al-Qur’an untuk bisa kubaca. Ikut kajian muslimah bulan lalu, itu merupakan satu-satunya yang pernah ku ikuti selama satu tahun di Bandung. Itupun dengan sangat terpaksa karena aku capek dengan sms-sms yang terus mengajakku untuk mengikuti kajian.
“Ok, besok aku akan ikut kajian itu. Tapi tolong jangan pernah mengajak atau sms aku lagi untuk mengikuti kajian-kajian tidak penting kalian. Ngerti!”
Aku teringat sms balasan yang ku kirim untuk mereka yang dengan tulus dan ikhlas selalu mengundangku ke acara yang bisa mendekatkan diriku dengan Sang Illahi. Kini aku menyesal, sungguh aku telah menyakiti hati mereka dengan membalas dengan kata-kata pedas seperti itu. Namun mereka tak pernah menunjukkan kemarahan dan kebenciannya terhadapku. Saat aku hadir dalam kajian tersebut, mereka bersikap sangat ramah dan dianggapnya aku seperti keluarga. Begitu indah hari yang kurasa saat itu. Namun karena keangkuahnku, aku bilang dengan tegasnya pada salah seorang panitia.
“Minggu depan tolong jangan undang aku lagi. Aku tidak punya banyak waktu untuk ikut kegiatan seperti ini”
Sebenarnya terbersit penyesalan telah mengeluarkan kata-kata seperti itu. Aku merasa sangat nyaman dan ingin mengulang ikut kegiatan serupa. Namun aku takut teman-teman satu kampusku akan mengejek dan menganggap aku kampungan karena bergaul dengan mereka. Aku berpikir keadaanku saat ini jauh lebih memalukan daripada aku mengikuti kajian muslimah dan memilih bergaul dengan muslimah pilihan ALLAH.
Kini teman-temanku di kampus seolah tidak mau lagi kenal denganku. Sudah satu minggu aku tidak masuk ke kampus, tapi  tak ada seorangpun yang mau mengunjungi ke kontrakanku yang dekat dengan kampus, bahkan untuk sms saja tidak. Bahkan Ani, sahabatku sejak SMA dulu juga sama sekali tidak pernah menghubungiku. Padahal sejak dulu kami adalah sahabat yang sangat akrab. Tiap aku ada masalah dia yang selalu menghiburku. Sangat berbeda dengan sekarang. Aku berfikir apa yang salah dengan diriku? Aku hanya anak dari orang tua yang tega memperdagangkan anak. Aku tidak tahu menahu tentang hal itu. Tapi mengapa mereka semua, bahkan sahabat dekatku juga seolah menyalahkanku dan mengangap sama dengan kedua orang tuaku. Aku hanya butuh dukungan minimal dari satu sahabatku saja. Tapi tidak ada satupun yang mau berhubungan denganku lagi. Aku merasa sendiri. Sepi. Bingung harus berbuat apa.
Ya ALLAH.... aku ingat pada sang Illahi. Aku tahu seorang hamba tidak perlu merasa sendiri karena ALLAH pasti selalu berada dengan hambanNya. Tapi aku bukan hamba yang baik. Jika sedang dalam keadaan seperti ini aku mengingatNya. Namun jika sedang dalam keadaan yang menyenangkan aku melupakanNya.
Bisa jadi musibah yang menimpaku saat ini merupakan hukuman untuk gadis yang tak pernah mau dekat dengan Tuhannya. Aku sangat menyesal. Ku rasakan linangan air mata menetes di pipiku. Entah air mata itu air mata penyeselanku karena selama ini jauh dengan Sang Ilahi, atau karena aku sudah tidak kuat menghadapi masalah yang menimpaku saat ini.
Aku kembali mengingat tentang hidayah yang diibaratkan buah apel. Sekarang juga aku ingin mendapat hidayah itu.  Aku mencari nomor handphone teman yang dulu sering mengajakku ke Kajian muslimah. Tapi aku ragu apakah mereka akan menerimaku. Sebenarnya aku malu pada diriku sendiri, setelah aku mendapat musibah yang sangat menghancurkanku aku mulai berpikir untuk mendapat hidayah untuk lebih mendekatkanku pada ALLAH SWT. Aku sangat malu pada diriku sendiri namun dengan tegasnya wanita yang dulu berjubah biru tua itu mengatakan.

“Tidak ada kata terlambat. Apel itu tak akan pernah lari jika kamu sungguh-sungguh ingin mendapatkannya. Jika musibah itu yang mengingatkanmu untuk berubah, maka sesungguhnya itulah pelajaran yang dapat kamu ambil. Musibah bukan berarti selalu hukuman, namun juga bisa berarti cobaan atau jalan menuju kebaikan. Jangan pernah malu atau ragu untuk mendapatkan apel itu. Seberat apapun musibah menimpamu, jangan pernah takut dan putus asa. Serahkan semua pada ALLAH karena sesungguhnya Dia tidak akan memberikan cobaan di luar batas kemampuan hambaNya. Kami yakin kamu bisa melewati semua musibah ini dan mendapat hidayah seperti yang kamu harapkan.”

by: Suci Muhaiminah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar