Aku menutup pintu kamarku dengan keras.
Tak kuperhatikan tas dan sepatu yang masih melekat di anggota tubuhku, langsung
saja ku menjatuhkan diri di atas kasur sambil memeluk sebuah guling. Gejolak
yang kini kurasa sangat menghantam hati dan pikiranku. Ingin aku menjerit
sekeras-kerasnya sampai aku merasa tenang. Tak bisa kuhentikan air mata yang
sudah terlanjur membasahi pipiku. Semakin lama aku seperti berada dalam sebuah
tempat yang sangat gelap dan disana hanya ada aku dan seorang monster
menyeramkan yang siap mencengkramku kapan saja. Aku takut tapi tak bisa berbuat
apa-apa. Hanya diam, terus diam dalam ketakutan yang entah sampai kapan akan
berakhir.
*
“Mari silahkan masuk,” sapa seorang
wanita berjubah biru tua dengan ramahnya mempersilahkan aku masuk ke dalam
sebuah ruang yang memang tidak terlalu besar tetapi tertata rapi dan terlihat
sangat nyaman.
“Iya, terimakasih,” jawabku.
Aku duduk di kursi nomor dua dari
belakang. Lima menit berlalu hampir seluruh ruangan ini telah dipenuhi oleh
para peserta dan pematerinyapun telah menempati kursi yang telah disediakan.
Melihat sekeililingku saat ini, aku merasa seperti orang yang sangat asing. Di
samping kananku terlihat seorang wanita berjubah merah dan jilbab putih panjang
hampir mencapai lututnya. Sedangkan di samping kiriku wanita bercadar yang
memakai busana serba hitam. Seluruh isi ruangan ini mengenakan busana yang
hampir sama dengan wanita di samping kanan dan kiriku. Hanya satu wanita yang
berbeda, hanya mengenakan kaos hijau panjang dan celana jins serta jilbab yang
hanya menutupi rambut dan leher. Jelas wanita itu adalah aku.
Satu jam berlalu terus ku pusatkan
perhatianku terhadap apa yang disampaikan pemateri dalam kajian muslimah ini.
Kalimat yang membuatku terdiam dan terus ku renungi adalah ketika beliau
mengatakan “Jika kita ingin mendapat hidayah dari ALLAH, harus ada usaha untuk
mencapainya. Ibarat jika kita ingin sebuah apel yang ada di pohonnya, tidak
bisa hanya menunggu sampai apel itu jatuh dengan sendirinya, namun harus ada
usaha entah menggunakan kayu atau tangga agar kita mendapat apel itu”.
Terbersit dalam pikiranku untuk berubah
lebih baik, aku ingin mendekatkan diri pada Sang Pencipta. Hidayah itu ingin
kudapat minimal dari busana yang kukenakan dulu. Tapi apakah aku bisa di tengah
terik matahari yang panas mengenakan busana yang semakin menggerahkanku. Belum
lagi pastinya teman-temanku di kampus akan menertawaiku. Aku juga belum siap
harus belajar agama dari nol dan mengerjakan ibadah sesuai yang diperintahkan.
Aku ingin mendapat hidayah, namun aku seperti gadis kecil yang mengharap
jatuhnya apel dari pohon dengan sendirinya, hanya menengadahkan tangan di bawah
pohon itu tanpa melakukan satu usahapun agar apel itu bisa segera ku dapat.
*
Berita tentang kasus kedua orangtuaku sedang diperbincangkan oleh masyarakat
luas. Aku sangat terpukul mendengar berita tersebut. Aku tak pernah menyangka
keduaorangtuaku selama ini tega memperdagangan anak. Kini mereka menjadi
buronan kepolisian. Aku bingung dengan musibah yang menimpaku saat ini,
keduaorangtuaku bahkan tidak memberi kabar apapun untuk mengonfirmasi bahwa
kabar tersebut tidak benar.
Hari itu aku berusaha tenang dan
menganggap tidak pernah terjadi apa-apa. Aku tetap berangkat ke kampus dan
berusaha tersenyum di balik kepedihan yang terus menyelimutiku. Benar saja di
kampus para mahasiswa dan dosen juga sedang membicarakan tentang kasus
orangtuaku. Aku tetap berusaha diam dan menahan untuk tidak berperilaku aneh.
Akupun mengikuti kuliah seperti biasanya meskipun tidak dengan pikiran jernih
yang biasanya ku tonjolkan. Memang tak ada satu temanku yang tahu kalau aku
adalah anak buronan yang beritanya sedang diperbincangkan oleh orang banyak.
Selama satu tahun di Bandung, orangtuaku yang berada di Surabaya tidak pernah
mengunjungi ke kontrakanku. Nama orang tuaku apalagi, tidak ada yang sampai
memperhatikan siapa nama orangtua masing-masing temannya.
Hingga saat pergantian mata kuliah, aku
dipanggil ketua jurusan ke ruangannya.
“Benar kamu anak Beny Santoso Aditya?”
tanya kajurku dengan nada tegas dan tidak ada keramahan sedikitpun.
Aku tak berani menatap kajurku. Aku
hanya diam.
“Benar kamu anak Beny Santoso Aditya?”
beliau mengulang pertanyaannya dengan nada keras.
Akupun tetap diam. Kemudian dengan
suara yang lebih keras sambil memukul meja yang ada di depannya ia mengulang
pertanyaannya.
“Jangan diam.... benar kamu anak Beny
Santoso Aditya???”
Para dosen dan sebagian mahasiswa turut
berbondong-bondong menuju ruang kajur. Mereka turut menguping lewat jendela dan
berusaha melihat yang terjadi dalam ruangan ini. Siang ini merupakan awal
seluruh kampus, para dosen dan mahasiswa tahu bahwa aku adalah anak
buronan kasus perdagangan anak yang sangat dibenci oleh banyak orang.
“Dasar anak buronan!!!”
“Tak tahu malu, kenapa masih ke
kampus!??”
“Dia pasti tak beda jauh dengan
orangtuanya!!!”
“Keluarga yang tak punya hati
nurani!!!”
Aku tak kuat dengan celotehan-celotehan
temanku itu. Setiap kata yang kudengar sungguh membuat hatiku semakin pilu.
Malu, marah, kesal, kecewa, sedih semua tercampur menjadi satu. Aku berlari
sambil terus meneteskan air mata kepedihan.
Pintu keluar kampus telah aku lewati.
Jalan demi jalan terus aku lalui. Hingga sampai pada jalan yang sepi, aku
berjalan gontai. Tiba-tiba dihadapanku berdiri seorang ibu yang kelihatannya
memendam kebencian yang begitu mendalam. Ketakutanku makin memuncak ketika
melihat ibu itu membawa pisau yang siap dilayangkan ke tubuhku.
“Kamu harus mati!!! Gara-gara orangtuamu, anakku yang kelahirannya telah ku
nanti selama 20 tahun harus hidup menderita dan kini dia telah meninggalkanku
untuk selamanya”.
Akupun berlari sekuat yang ku bisa. Ibu itu terus mengejarku. Hampir selama
tiga menit aku terus berlari. Ku hentikan langkahku ketika aku mendengar suara
benturan yang sangat keras. Ibu yang mengejarku tadi jatuh terbentur batu
besar. Aku bingung akan berbalik arah atau tidak. Hingga ada mobil melewatinya
dan penumpang yang ada dalam mobil itupun menolongnya.
Perasaanku sedikit lega, tapi ketika aku ingat ibu tadi hanya satu dari ribuan
orang yang membenci dan mengharap kematianku, hatiku mulai gelisah.
Orangtuaku telah memisahkan banyak orangtua dengan anak kandungnya. Mungkin
riwayatku akan berakhir di tangan salah satu orang tua yang anaknya dijual oleh
orangtuaku.
*
Aku membuka jendela kontrakanku. Saat
itu kedua jarum jam berwarna hitam yang menempel di jam dinding mengarah ke
angka 12. Terik matahari sedang menyambar kota ini. Terlihat seorang pedagang
yang dalam keadaan tua tetap gigih memikul barang dagangannya di pundak kanan
dan kirinya sambil menawarkan dagangannya.
“Buah-buah............ Apel, jeruk,
pisang, anggur............. buah-buah.......”
Kemudian, dia duduk di bawah pohon
tepat di depan kontrakanku. Dari caranya duduk, ia kelihatan sangat letih.
Sambil mengipaskan sebuah buku ke bagian wajahnya, ia memandang ke buah-buah
yang digagangkan. Wajahnya tampak kurang gembira, mungkin karena barang
dagangannya masih banyak. Aku bergegas keluar untuk melihat barang dagangannya.
Ternyata dugaanku benar. Buahnya masih banyak namun kelihatan masih sangat
segar.
Melihatku berada dekat dengannya
pedagang itu tersenyum dan langsung berdiri dengan semangatnya.
“Buahnya mbak, segar-segar lho! Ada
apel, jeruk, pisang, anggur.....”
“Ya, apelnya satu kilo saja.”
Dengan cekatan pedagang itu memasukkan
apel ke dalam plastik berwarna hitam. Wajahnya tampak sumringah.
”Mbak warga asli sini?” sapa pedagang
itu masih sambil memasukkan apel yang ku pesan.
“Bukan pak. Saya mahasiswa yang kuliah
di sini. Itu rumah kontrakan saya.”
“Sudah semester berapa mbak?”
“Semester tiga. Oh ya bapak kelihatan
sangat letih, kalau bapak mau bapak bisa istirahat di teras kontrakan saya.”
“Wah, mbak baik sekali.”
“Mari pak, silahkan masuk tidak usah
sungkan-sungkan.”
Setelah memberikan bungkusan apel
pedagang itu memikul barang dagangannya kemudian duduk santai di depan teras
rumahku. Aku memberikannya minum segelas air. Setelah beberapa menit istirahat,
pedagang itu pamit pulang.
“Terimakasih banyak ya mbak, semoga
ALLAH selalu melindungi mbak dan keluarga mbak.”
*
Aku membuka bungkusan apel yang tadi
aku beli. Saat ku mengupas buah tersebut, aku ingat satu bulan lalu. Ketika aku
ikut kajian muslimah di gedung kampus Islam. Kalimat pemateri tentang hidayah
yang diibaratkan buah apel terngiang dalam pikiranku. “Jika menginginkan buah
apel jangan menunggu sampai apel itu jatuh dengan sendirinya. Namun harus ada
usaha untuk mendapat apel tersebut.”
Hidayah. Ya hidayah itu kini harus ku
dapat. Aku baru menyesali kalau selama ini aku sangat jauh dengan Sang Illahi.
Sholat sangat jarang ku lakukan. Apalagi mengaji, bahkan aku tak punya
Al-Qur’an untuk bisa kubaca. Ikut kajian muslimah bulan lalu, itu merupakan
satu-satunya yang pernah ku ikuti selama satu tahun di Bandung. Itupun dengan
sangat terpaksa karena aku capek dengan sms-sms yang terus mengajakku untuk
mengikuti kajian.
“Ok, besok aku akan ikut kajian itu.
Tapi tolong jangan pernah mengajak atau sms aku lagi untuk mengikuti
kajian-kajian tidak penting kalian. Ngerti!”
Aku teringat sms balasan yang ku kirim
untuk mereka yang dengan tulus dan ikhlas selalu mengundangku ke acara yang
bisa mendekatkan diriku dengan Sang Illahi. Kini aku menyesal, sungguh aku
telah menyakiti hati mereka dengan membalas dengan kata-kata pedas seperti itu.
Namun mereka tak pernah menunjukkan kemarahan dan kebenciannya terhadapku. Saat
aku hadir dalam kajian tersebut, mereka bersikap sangat ramah dan dianggapnya
aku seperti keluarga. Begitu indah hari yang kurasa saat itu. Namun karena
keangkuahnku, aku bilang dengan tegasnya pada salah seorang panitia.
“Minggu depan tolong jangan undang aku
lagi. Aku tidak punya banyak waktu untuk ikut kegiatan seperti ini”
Sebenarnya terbersit penyesalan telah
mengeluarkan kata-kata seperti itu. Aku merasa sangat nyaman dan ingin
mengulang ikut kegiatan serupa. Namun aku takut teman-teman satu kampusku akan
mengejek dan menganggap aku kampungan karena bergaul dengan mereka. Aku
berpikir keadaanku saat ini jauh lebih memalukan daripada aku mengikuti kajian
muslimah dan memilih bergaul dengan muslimah pilihan ALLAH.
Kini teman-temanku di kampus seolah
tidak mau lagi kenal denganku. Sudah satu minggu aku tidak masuk ke kampus,
tapi tak ada seorangpun yang mau mengunjungi ke kontrakanku yang dekat
dengan kampus, bahkan untuk sms saja tidak. Bahkan Ani, sahabatku sejak SMA
dulu juga sama sekali tidak pernah menghubungiku. Padahal sejak dulu kami
adalah sahabat yang sangat akrab. Tiap aku ada masalah dia yang selalu
menghiburku. Sangat berbeda dengan sekarang. Aku berfikir apa yang salah dengan
diriku? Aku hanya anak dari orang tua yang tega memperdagangkan anak. Aku tidak
tahu menahu tentang hal itu. Tapi mengapa mereka semua, bahkan sahabat dekatku
juga seolah menyalahkanku dan mengangap sama dengan kedua orang tuaku. Aku
hanya butuh dukungan minimal dari satu sahabatku saja. Tapi tidak ada satupun
yang mau berhubungan denganku lagi. Aku merasa sendiri. Sepi. Bingung harus
berbuat apa.
Ya ALLAH.... aku ingat pada sang
Illahi. Aku tahu seorang hamba tidak perlu merasa sendiri karena ALLAH pasti
selalu berada dengan hambanNya. Tapi aku bukan hamba yang baik. Jika sedang
dalam keadaan seperti ini aku mengingatNya. Namun jika sedang dalam keadaan
yang menyenangkan aku melupakanNya.
Bisa jadi musibah yang menimpaku saat
ini merupakan hukuman untuk gadis yang tak pernah mau dekat dengan Tuhannya.
Aku sangat menyesal. Ku rasakan linangan air mata menetes di pipiku. Entah air
mata itu air mata penyeselanku karena selama ini jauh dengan Sang Ilahi, atau
karena aku sudah tidak kuat menghadapi masalah yang menimpaku saat ini.
Aku kembali mengingat tentang hidayah
yang diibaratkan buah apel. Sekarang juga aku ingin mendapat hidayah itu.
Aku mencari nomor handphone teman yang dulu sering mengajakku ke Kajian
muslimah. Tapi aku ragu apakah mereka akan menerimaku. Sebenarnya aku malu pada
diriku sendiri, setelah aku mendapat musibah yang sangat menghancurkanku aku
mulai berpikir untuk mendapat hidayah untuk lebih mendekatkanku pada ALLAH SWT.
Aku sangat malu pada diriku sendiri namun dengan tegasnya wanita yang dulu
berjubah biru tua itu mengatakan.
“Tidak ada kata terlambat. Apel itu tak
akan pernah lari jika kamu sungguh-sungguh ingin mendapatkannya. Jika musibah
itu yang mengingatkanmu untuk berubah, maka sesungguhnya itulah pelajaran yang
dapat kamu ambil. Musibah bukan berarti selalu hukuman, namun juga bisa berarti
cobaan atau jalan menuju kebaikan. Jangan pernah malu atau ragu untuk
mendapatkan apel itu. Seberat apapun musibah menimpamu, jangan pernah takut dan
putus asa. Serahkan semua pada ALLAH karena sesungguhnya Dia tidak akan
memberikan cobaan di luar batas kemampuan hambaNya. Kami yakin kamu bisa
melewati semua musibah ini dan mendapat hidayah seperti yang kamu harapkan.”
by: Suci Muhaiminah